TIMES SLEMAN, JAKARTA – Kontroversi rangkap jabatan oleh 30 wakil menteri (wamen) di Kabinet Presiden Prabowo Subianto yang juga ditunjuk sebagai komisaris di sejumlah BUMN menuai kritik dari berbagai kalangan. Kebijakan tersebut dinilai tidak sensitif di tengah meningkatnya angka pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Menanggapi hal itu, dua aktivis hukum, Ilham Fariduz Zaman dan A. Fahrur Rozi, mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah pasal dalam UU Kementerian Negara dan UU BUMN.
Permohonan pengujian diajukan pada Selasa (15/7/2025) di Gedung MK, Jakarta. Mereka menggugat Pasal 23 UU Kementerian Negara, serta Pasal 27B dan Pasal 56B UU BUMN karena dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Ilham Fariduz Zaman menyatakan bahwa dalam Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019, Mahkamah secara tegas menyatakan larangan rangkap jabatan bagi menteri dan wakil menteri guna mencegah benturan kepentingan yang serius.
“Putusan MK bersifat final dan mengikat secara universal (erga omnes), namun pemerintah justru mengabaikannya,” ujar Ilham dalam keterangan resminya yang diterima TIMES Indonesia.
Menurutnya, langkah uji materi ini diambil sebagai bentuk kepedulian terhadap demokrasi dan supremasi konstitusi di Indonesia.
Adapun Pasal 23 UU Kementerian Negara menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
-
pejabat negara lainnya;
-
komisaris atau direksi pada perusahaan negara/swasta;
-
pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN/APBD.
Sementara itu, Pasal 27B UU BUMN melarang Dewan Komisaris merangkap jabatan sebagai:
-
anggota direksi, dewan komisaris, atau pengawas di BUMN lain, anak usaha, BUMD;
-
jabatan lain sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 56B UU BUMN juga melarang Dewan Pengawas merangkap jabatan dengan fungsi yang menimbulkan benturan kepentingan, atau jabatan lain sebagaimana diatur dalam regulasi.
Sebagai batu uji, mereka merujuk pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
“Untuk membatasi potensi kesewenang-wenangan kekuasaan, maka pembatasan hukum ini penting agar negara berjalan secara adil, maju, dan berintegritas,” tegas Ilham.
Gugatan ini menjadi sinyal peringatan terhadap praktik-praktik kekuasaan yang dinilai melanggar prinsip good governance dan akuntabilitas publik. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kontroversi Rangkap Jabatan 30 Wamen, Dua Aktivis Gugat UU ke Mahkamah Konstitusi
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Imadudin Muhammad |