TIMES SLEMAN, YOGYAKARTA – Seiring dengan dilantiknya Menteri Pendidikan yang baru, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed, isu kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai alat ukur standar pendidikan kembali mencuat. Pernyataan bahwa “UN dapat memberikan gambaran tentang kesenjangan kualitas pendidikan nasional” muncul sebagai argumen untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaannya.
Namun, di era di mana konsep deep learning direncanakan untuk diterapkan, wacana kembalinya UN justru terasa tidak relevan dan berisiko menjadi langkah mundur dalam upaya memodernisasi pendidikan di Indonesia.
Ujian Nasional Tidak Sejalan dengan Pembelajaran Mendalam
Tujuan dari deep learning dalam pendidikan adalah membantu siswa memahami materi secara mendalam, bukan hanya menghafal fakta atau jawaban. Pembelajaran berbasis deep learning bertujuan untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi-keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam dunia modern.
Pendidikan di era sekarang seharusnya menghasilkan siswa yang tidak hanya siap menghadapi ujian, tetapi juga mampu berpikir secara mandiri, memecahkan masalah nyata, dan memiliki keterampilan adaptif.
Ujian Nasional, dengan soal-soal standar yang seragam di seluruh negeri, efektif untuk mengukur hafalan, tetapi kurang mampu menilai sejauh mana siswa memahami konsep dan dapat mengaplikasikannya. Padahal, konsep deep learning menekankan pada pengalaman belajar yang mendalam dan aplikatif, yang sulit diukur melalui ujian standar seperti UN.
Risiko Kembalinya “Budaya Belajar untuk Ujian”
Penghapusan Ujian Nasional bertujuan untuk mengurangi tekanan pada siswa dan menghindari fenomena teaching to the test yang membatasi kreativitas dalam pembelajaran. Ketika Ujian Nasional menjadi patokan utama keberhasilan pendidikan, guru dan sekolah cenderung fokus pada materi yang akan diuji.
Membatasi ruang untuk eksplorasi dan kegiatan belajar berbasis proyek. Akibatnya, pendidikan menjadi dangkal dan berorientasi pada hasil ujian, bukan pada proses pembelajaran yang bermakna.
Jika UN dihidupkan kembali, kita berisiko kembali pada pola lama, di mana siswa dan guru terlalu fokus pada persiapan ujian, bukan pada pencapaian pemahaman yang sesungguhnya. Pengalaman belajar yang lebih mendalam, yang seharusnya menjadi inti dari deep learning, bisa tersingkir karena tekanan untuk “lulus ujian.”
Ini akan berdampak pada berkurangnya inovasi di kelas dan kembalinya metode belajar hafalan yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan zaman.
Pendidikan untuk Hidup, Bukan untuk Lulus Ujian
Di tengah persaingan global yang semakin dinamis, pendidikan seharusnya mempersiapkan siswa untuk hidup dan berkontribusi dalam masyarakat. Pendidikan berbasis deep learning mendorong siswa mengembangkan pemahaman yang lebih menyeluruh dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang tidak bisa dievaluasi melalui ujian seragam.
Melalui pembelajaran berbasis proyek, misalnya, siswa dapat belajar bagaimana mengidentifikasi masalah nyata, mencari solusi yang relevan, dan berkolaborasi dengan rekan-rekannya untuk mencapai hasil terbaik.
Sebagai negara yang beragam, Indonesia perlu menyesuaikan metode evaluasinya agar bisa mencerminkan keberagaman tersebut. Daripada kembali pada UN yang membatasi, kita sebaiknya menerapkan asesmen yang lebih fleksibel dan personal.
Memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kemampuan siswa. Penilaian berbasis proyek, portofolio, dan asesmen formatif yang berkelanjutan akan lebih relevan untuk mencerminkan perkembangan siswa secara nyata.
Harapan ke Depan: Kebijakan yang Menunjang Pembelajaran Mendalam
Kembalinya UN bukan hanya langkah mundur, tetapi juga bertentangan dengan arah kebijakan pendidikan berbasis deep learning yang ingin diterapkan. Sebagai masyarakat yang peduli pada kualitas pendidikan, kita perlu mendorong kebijakan yang sejalan dengan perkembangan kebutuhan keterampilan abad ke-21.
Sistem penilaian nasional yang baru seharusnya tidak lagi terpaku pada hasil ujian akhir, melainkan pada kemampuan siswa untuk memahami, menganalisis, dan menerapkan pengetahuan mereka.
Dengan mengutamakan deep learning, kita memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Pendidikan yang mendalam tidak akan tercapai jika kebijakan evaluasi masih terjebak pada pola lama yang berfokus pada hasil tes standar.
Ke depannya, kebijakan pendidikan harus mengutamakan pembelajaran yang memberikan ruang bagi setiap siswa untuk bertumbuh sebagai individu yang kritis, kreatif, dan siap berkontribusi di masyarakat.
***
*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |