TIMES SLEMAN, YOGYAKARTA – Keterlibatan aktivis klan Jogja yang bermetamorfosis menjadi politisi dalam dinamika politik nasional dan lokal bukanlah barang baru. Di tingkat nasional, kita mengenal nama-nama tokoh besar seperti Enny Nurbaningsih (Hakim Mahkamah Konstitusi), Gus Dur (Presiden RI ke-4), Mahfud MD (Menko Polhukam 2019-2024), Leontinus Alpha Edison (pendiri Tokopedia), Otto Hasibuan (Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia) dan yang lainnya.
Sementara dalam konteks Sumenep, kita juga mengenal nama-nama seperti KH. Busyro Karim, bupati Sumenep dua periode (2010, 2015, 2015, dan 2020), Kiai Ali Fikri (Ketua DPC PPP), Abrari Alzael (Sekretaris DPC PDIP), Darul Hasyim Fath (Ketua Pansus Tatib DPRD Sumenep 2024-2029), Irawan Hayat (Anggota DPRD Sumenep 2024-2029), dan beberapa sosok lainnya. Aktivis-politisi klan Jogja ini serupa angin menerobos masuk ke tengah-tengah kekuasaan, mewarnai dinamika dan proses politik yang terus berlangsung.
Namun demikian, dalam konteks Sumenep, posisi politik aktivis-politisi klan Jogja ini 'sebagai apa' masih patut kita pertanyakan. Sebagai penentu keputusan politik garda depan atau hanya sebagai penyokong dan pelengkap status quo, menjadi tim hore yang senantiasa berada di persimpangan jalan. Hal ini perlu untuk dipertanyakan sebab sebagai aktivis-politisi yang berpegang pada idealisme, tidak pas bila keberadaannya hanya duduk sebagai politisi pinggiran tanpa kendali atas palu kekuasaan yang berkaitan dengan nasib masyarakat di tangannya.
Kekuasaan itu penting. Termasuk bagi klan aktivis-politisi untuk memperjuangkan idealismenya. Tanpa kekuasaan, idealisme aktivis hanya akan menjadi perjuangan jalanan yang tak berujung. Tanpa kekuasaan utama, metemorfosa aktivis klan Jogja dalam politik Sumenep tak akan memiliki nilai berarti. Keberadaannya hanya akan terus menjadi pelengkap: di asuh ketika posisinya dibutuhkan dan ditelantarkan tatkala kontestasi kepentingan telah usai.
Pertanyaan, tak adakah dari mereka yang hari ini bisa didorong untuk memegang palu kekuasaan guna mempermudah kerja-kerja ideologis yang bertumpu pada nasib wong cilik? Tentu ada. Dan banyak bahkan. Nama-nama aktivis-politisi klan Jogja seperti Abrari Alzael, Kiai Ali Fikri, Darul Hasyim Fath, Irwan Hayat, rasanya cukup layak untuk didorong sebagai pemegang palu kekuasaan di ruangnya masing-masing; di eksekutif maupun legislatif.
Pertama, sebut saja Abrari Alzael. Abrari Alzael atau (Abe) adalah jurnalis senior cum politisi kawakan yang hari ini menjabat sebagai sekretaris DPC PDI-P Sumenep. Yang konon, meski menjabat sebagai sekretaris, namun secara de facto, posisinya melebihi ketua DPC itu sendiri. ”Ia adalah sekretaris rasa ketua,” ungkap salah satu kolega politiknya.
Kedua, ada Kiai Ali Fikri (ketua DPC PPP Sumenep) yang saat ini mencalonkan diri sebagai calon bupati Sumenep 2024-2029. Meski sosoknya lebih populer sebagai kiai pesantren, ketimbang politisi, namun sosoknya cukup mumpuni untuk didorong sebagai nahkoda politik dalam konteks eksekutif. Integritas dan kapabilitas beliu tak diragukan lagi. Ia adalah tipe politisi pesantren yang tegak lurus pada kepentingan masyarakat luas.
Ketiga, ada Darul Hasyim Fath. Sosok aktivis-politisi yang konsisten memperjuangkan nasib wong cilik, nasib kaum marhaen yang teralienasi oleh agenda dan proyek modernitas. Dengan ideologi Marhaenisme-nya, ia setia menapaki jalan dan garis perjuangan Soekarno: memperjuangkan nasib wong cilik (masyarakat kepulauan khususnya) yang terpinggirkan.
Karena itu, tak ayal bila pendiri Yayasan Pusat Studi Bung Karno (YPSBK) ini dalam periode keempatnya sebagai anggota DPRD Sumenep, dipercaya sebagai Ketua Panitia Khusus (Pansus) Pembentukan Rancangan Peraturan Tata Tertib DPRD Sumenep 2024-2029.
Keempat, ada Ahmadi Yazid, yang juga merupakan aktivis klan Jogja yang hari ini aktif sebagai politisi PKB. Seperti seniornya, Abrari. Sosok yang satu ini juga mengikuti jalan Jacob Oetama, dari jurnalis jurnalisme Madura Raya melintang ke bangku politik.
Kelima, ada pula Irwan Hayat politisi PKB yang saat ini menjabat sebagai sekretaris Fraksi PKB Sumenep 2019-2024. Memang, namanya tak sering muncul dalam pemberitaan. media, namun soal komitmennya terhadap pembangunan berbasis kerakyatan tak perlu diragukan lagi. Ia adalah tipe politisi yang besar di jalanan bersama kegelisahan rakyat.
Dengan demikian, sebenarnya kita tidak kekurangan stok aktivis-politisi yang bisa di dorong untuk mengadaptasikan idealisme aktivisnya dalam ruang-ruang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan maupun yang lainnya. Lantas, ke mana kekuatan klan ini akan diarahkan? Ke mana klan aktivis-politisi Jogja ini menuju?
Mungkinkah klan ini kata kabar burung senang menempati kursi dalang di balik layar? Atau, seperti kabar burung lainnya klan aktivis-politisi Jogja ini justru tersisihkan dari panggung utama yang penuh intrik?
***
*) Oleh : Ahmad Farisi, Pengamat Politik dan Peneliti di Academi Hukum dan Politik (AHP) Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |