TIMES SLEMAN, YOGYAKARTA – Implementasi Kurikulum Merdeka, yang sedang menjadi topik hangat di dunia pendidikan Indonesia, seringkali disalahartikan sebagai sekadar memberi kebebasan kepada siswa untuk memilih jalur pendidikan mereka sendiri. Namun, di balik jargon kebebasan ini, tersimpan hakikat mendalam yang jauh lebih esensial.
Pendidikan yang benar-benar berpusat pada murid bukanlah hanya tentang memberi kebebasan tanpa batas, tetapi juga mendidik anak agar mampu membuat keputusan yang bijak dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai moral dan sosial.
Pendidikan yang berpusat pada murid dalam Kurikulum Merdeka menuntut para kepala sekolah dan guru untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang bagaimana mendampingi anak dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, kebebasan bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu menanamkan kearifan dalam memilih, berpikir kritis, serta tanggung jawab sosial. Tentu saja, proses ini tidak bisa berjalan hanya dengan slogan atau sekadar pendekatan administratif.
Kepala sekolah dan guru dituntut untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai luhur humanisme dalam pendidikan. Pendidikan yang humanis berarti mengutamakan pengembangan potensi siswa secara holistik, baik dari segi intelektual, emosional, moral, maupun sosial. Lebih dari sekadar “membebaskan,” pendidikan humanis ini membimbing siswa untuk memahami dampak dari setiap pilihan yang mereka buat-baik bagi diri mereka sendiri maupun lingkungan sekitarnya.
Tanpa pemahaman ini, implementasi Kurikulum Merdeka hanya akan menjadi sekadar basa-basi perubahan kurikulum tanpa substansi. Kepala sekolah dan guru yang benar-benar memahami hakikat pendidikan ini harus menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberi arah, mendukung, dan menuntun siswa dalam perjalanan pendidikan mereka.
Dengan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur ini, mereka dapat menciptakan lingkungan belajar yang tidak hanya memberi kebebasan, tetapi juga membekali siswa dengan keterampilan berpikir kritis dan kesadaran moral yang akan menjadi bekal serta pedoman hidup mereka. Oleh karena itu, keberhasilan Kurikulum Merdeka sangat bergantung pada kualitas kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola sekolah, serta kepemimpinan guru dalam pembelajaran yang mampu membawa nilai-nilai moral dan sosial ke dalam kelas.
Jika tidak, kebebasan memilih hanya akan menjadi beban bagi siswa yang belum matang dalam mempertimbangkan pilihan-pilihan mereka. Sebaliknya, dengan penguatan nilai-nilai moral dan sosial, kita dapat membangun generasi yang tidak hanya bebas, tetapi juga bijak dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.
***
*) Oleh : Dr. Enung Hasanah, M.Pd., Dosen Magister Manajemen Pendidikan, Universitas Ahmad Dahlan/Anggota Majelis Dikdasmen dan PNF PP Muhammadiyah.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |