TIMES SLEMAN, YOGYAKARTA – Pemerintah Pusat secara resmi telah menyerahkan draf final Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR RI. Selanjutnya, naskah tersebut akan masuk dalam pembahaan parlemen dan jika diterima mayoritas fraksi, maka RKUHP akan diterima menjadi panduan hukum positif yang baru.
Pemerintah merasa revisi terhadap KUHP yang sedang diterapkan sekarang sebagai sesuatu yang harus dilakukan. Hal itu dikarenakan KUHP yang berlaku pada saat ini merupakan warisan hukum kolonial Belanda, yakni Wetbeok Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie yang disahkan melalui undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang kemudian dinamakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perbedaannya secara umum terletak pada besaran ancaman pidana, serta adanya penambahan-penambahan ketentuan dalam KUHP yang tidak terdapat dalam kitab hukum kolonial Belanda sebagai bentuk penyelarasan dengan kondisi Indonesia pada masa itu.
Melalui rencana revisi, pemerintah mempunyai keinginan untuk melahirkan KUHP yang bisa dikatakan Indonesia sentris dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap banyak pasal melalui spirit dekolonisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta adaptasi dan harmonisasi terhadap perkembangan dalam ilmu hukum pidana. Artinya, RKUHP yang baru diharapkan menjadi sarana untuk menghadirkan sistem rekondifikasi hukum pidana nasional dengan corak dan cara hidup khas Indonesia sebagai bangsa yang sudah merdeka dari penjajahan kolonial.
Namun, klaim bahwa ada upaya dekolonisasi dan demokratisasi terhadap KUHP patut untuk dipertanyakan lebih mendalam. Sejauh apa komitmen pemerintah pada dua spirit tersebut? Apakah produk hukum yang dikeluarkan sungguh-sungguh mendukung dekolonisasi dan demoktrasiasi?
Dalam draf final RKUHP versi 4 Juli 2022, terlihat ada beberapa Bab atau Pasal yang sebenarnya cukup mengkhawatirkan, khususnya berpotensi mengancam kebebasan sipil. Salah satu yang disorot adalah Bab mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bab tersebut rasanya tidak mencerminkan spirit dekolonisasi yang disuarakan oleh pemerintah. Karena dalam Wetbeok Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie pun juga mengatur tentang penghinaan terhadap pemimpin negara dan dalam sejarahnya digunakan oleh kolonial untuk mengkriminalisasi orang-orang yang melakukan kritik.
KUHP versi Indonesia sesudah itu pun masih menganut aturan tersebut dan termuat di dalam Pasal 134. Namun, Mahkamah Kontitusi (MK) kemudian membatalkan Pasal tersebut melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 dengan pertimbangan Pasal 134 KUHP tafsirannya rentan untuk dimanipulasi.
Putusan MK terebut harusnya dapat menjadi pembelajaran sekaligus rujukan. Kehadiran Bab tentang penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP menunjukkan bahwa klaim dekolonisasi tak ubahnya kedok untuk menutupi upaya kebiri terhadap nilai-nilai demokratis. Di samping memperlihatkan pemerintah juga abai terhadap putusan MK tahun 2006.
Memang, jika ditilik, pada Pasal 218 ayat (2) dalam RKUHP dijelaskan bahwa suatu perbuatan tidak dianggap sebagai penghinaan apabila perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Pasal 220 juga menyebutkan bahwa Presiden atau Wakil Presiden harus melaporkan sendiri dugaan penyerangan terhadap harkat martabatnya. Artinya, pada rancangan RKUHP, relawan atau simpatisan tidak lagi bisa melaporkan kasus-kasus yang ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Namun, pada Pasal 218 ayat (2) tersebut pada dasarnya masih sangat bias. Ada penjelasan jika kritik yang dimaksud bersifat konstruktif dan sebisa mungkin memberi alternatif atau solusi. Kritik (yang bukan fitnah atau penghinaan yang menyamakan derajat manusia layaknya binatang) dalam bentuk apa pun pada dasarnya konstruktif selama yang dikritik dapat menerima. Persoalannya, jika pemimpin berwatak otoriter, tentu saja akan mengartikan kritik-kritik sebagai penyerangan terhadap wibawa dirinya. Apalagi kritik pada momen tertentu bisa menjadi sangat tajam.
Syarat untuk sebisa mungkin atau diharapkan memberi solusi juga menunjukkan bahwa pemerintah memberi batasan bahwa kritik tanpa solusi seperti sesuatu yang kosong. Tugas mencari solusi tidak bisa diamanatkan pada orang yang berkeluh kesah atas kebijakan-kebijakan pemerintah, sekalipun diberi diksi “sebisa mungkin atau diharapkan” bukan diwajibkan. Pemerintah dalam hal ini Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat justru karena dianggap mampu menyelesaikan persoalan bukan malah membalikkan persoalan tersebut kepada rakyat untuk dicarikan solusinya.
Pasal 220 juga harus mendapat perhatian khususnya dari segi situasional. Meskipun pasal tersebut menjelaskan bahwa harus Presiden dan Wakil Presiden sendiri yang membuat laporan, namun ada persoalan situasional di mana pelayanan penegak hukum yang cenderung “gercep” jika pelapor adalah pejabat, apalagi setingkat Presiden atau Wakil Presiden.
Sama dengan situasi sekarang, di mana aparat penegak hukum dinilai cenderung cepat memproses kasus dugaan penghinaan terhadap pejabat, namun terkesan lambat ketika kasus tersebut melibatkan orang biasa menghadapi orang biasa. Hingga ada anggapan bahwa kasus harus dibuat viral dulu di media sosial baru aparat bergerak. Ketimpangan situasional tersebut berpotensi merugikan pihak yang melakukan kritik ketika dilaporkan oleh Presiden atau Wakil Presiden berwatak otoriter dengan tuduhan penghinaan terhadap harkat martabat.
Selain Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, RKUHP juga memuat aturan lain yang berpotensi mendorong terciptanya kemunduran demokrasi, seperti Pasal 351 dan 352 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara serta Pasal 256 yang mengatur perizinan penyelenggaraan unjuk rasa dan demokrasi.
Pemerintah Bersama DPR RI harus benar-benar memperhatikan isu kebebasan sipil dalam RKUHP agar ketika disahkan tidak menjadi bumerang bagi rakyat dan justru menjadi pintu gerbang bagi kemunculan otoritarianisme di masa mendatang yang celakanya dilegalkan secara hukum.
***
*) Oleh: Kr. Bagas Romualdi, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Sejarah UNY.; Pegiat Gerakan Digital Jangkar Nusantara.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Anomali Atas Klaim Spirit Dekolonisasi dan Demokratisasi pada RKUHP
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |