TIMES SLEMAN, YOGYAKARTA – Tragedi tanggal 01 Oktober 2022 menyisakan duka mendalam bagi insan sepak bola di seluruh dunia. Peristiwa memilukan tersebut cukup kiranya untuk kita muhasabah bersama, merenungi nasib bangsa. Sepak bola bukan hanya tentang materi, panggung eksistensi, dan trofi bergengsi. Sepak bola adalah tentang sportifitas, kedewasaan, kebersamaan, kesanggupan untuk menerima kepahitan, keberanian untuk menekan ego, dan yang terpenting sepak bola adalah tentang kemanusiaan.
Di negeri ini, kita terpaksa disuguhkan kenyataan pahit dunia sepak bola. Oknum penyelenggara yang hanya berpikir kapital, sistem keamanan yang tidak profesional, politisi yang menjadikannya sarana elektabilitas, juga fanatisme suporter norak yang mewarisi luka sejarah. Segudang 'prestasi' buruk yang kita miliki cukup untuk kita bertanya "untuk apa ada sepak bola?"
Peristiwa kemarin seakan menampar kita semua, dimana karakter bangsa Indonesia yang katanya santun itu? Sudah lupakah bangsa ini dengan sila ke duanya? Sadarkah bahwa kita bangsa Timur yang biasanya membanggakan truth claim keunggulan moralitas dan spiritualitas ternyata hanya omong kosong?
Tulisan ini adalah keresahan sebagai anak muda yang memimpikan kejayaan peradaban Indonesia. Kanjuruhan seakan menggugah kesadaran bahwa kita masih jauh dari kata beradab. Semua pihak harus ikut resah, kontemplasi, dan mengupayakan kembali sesuatu yang hilang dari negeri ini, yakni moralitas.
Kita mendambakan revolusi mental bukan sebatas jargon dan pelicin anggaran, melainkan menyentuh pada dataran kemanusiaan. Negeri ini sudah mempertontonkan realitas buruk bagi generasi masa depan, dimana anak-anak kita dipaksa memaklumi gegap gempita kebobrokan yang dilakonkan oleh seniornya.
Pembangunan infrastruktur harus diimbangi dengan peningkatan SDM, kemajuan teknologi harus dibarengi dengan kepekaan nurani, jika tidak maka hal tersebut hanya akan menjadi bumerang bagi manusianya. Sejarah membuktikan, betapa banyak bangsa besar yang runtuh karena tindakan amoral manusianya.
Kita mengharapkan introspeksi semua elemen, agar bangsa ini tak lagi berkutat pada problem-problem primitif, yakni problem yang harusnya sudah selesai untuk menghadapi dunia bergerak maju. Bangsa ini harus memiliki kedewasaan berdemokrasi, dimana para elite politik harus meredam ego dan kepentingannya untuk kepentingan rakyat, bukan malah mempertontonkan konflik di depan publik, seakan mengajari rakyat untuk menyukai anarkisme. Sayangnya dalam kondisi duka seperti ini, alih-alih refleksi dan mencari solusi, para elite malah menyampaikan ucapan duka sembari memampang foto, nama, dan jabatannya dalam sebuah poster.
Para penegak hukum yang kian menjadi sorotan masyarakat juga harus berbenah. Keputusan untuk menyemburkan gas air mata di Kanjuruan kemarin, seakan memperlihatkan kegagapan mereka dalam menangani konflik. Tindakan represif dengan cara kekerasan, memperlihatkan emosi mereka yang belum layak diamanahi tanggung jawab sebagai keamanan. Tugas keamanan adalah mengamankan, bukan menekan dengan ancaman, apalagi pukulan.
Kedewasaan untuk menjadi suporter juga mutlak dibutuhkan, sepak bola hanyalah cabang olahraga, sehingga sangat tidak layak jika nyawa sebagai taruhannya. Kekalahan harus diterima sebagai konsekuensi permainan, bukan malah mengamuk atas klaim kehormatan. Fanatisme dan permusuhan yang diwariskan sangat tidak nyambung dengan jargon olahraga, sportifitas. Ada yang lebih tinggi dari sekedar kemenangan, yakni sifat kesatria.
Sekali lagi seluruh elemen harus introspeksi, bangsa ini harus mengajari anak muda arti penting toleransi dan empati. Moralitas universal sangat urgen untuk dipahami bersama, bukan sebatas dogma-dogma identitas yang dikedepankan. Tragedi Kanjuruhan tidak boleh terjadi, kembalikan sepak bola sesuai semestinya, sebuah permainan yang menggembirakan, bukan mengantarkan pada kematian. Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia. RIP untuk sepak bola Indonesia!
***
*) Oleh: Muhammad Amruddin Latif, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan, Kandidat Doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
____
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Sepak Bola dan Problem Kemanusiaan
Pewarta | : |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |